USP Berbunga 240% Bebas Beroperasi
>> Irsyad Muchtar, PIP
Sebuah usaha simpan pinjam (USP) di Jayapura, Papua, melepas dana dengan bunga 20% per bulan. Pinjaman ditagih setiap hari. Kendati Dinas Koperasi setempat mengaku kecolongan, namun belum ada tindak pencegahan.
Kaleb Worembai tak kuasa menahan geram. Betapa tidak. Di wilayah kerjanya USP yang beroperasi dengan bunga selangit itu terus memakan korban. Desember lalu, Kepala Dinas Koperasi dan PKM Provinsi Papua itu menerima laporan bahwa para penagih utang (debt collector) telah menyita sebanyak tujuh rumah milik nasabah USP ’abal-abal’ itu karena gagal membayar angsuran bunga sebesar 20% per bulan yang ditagih setiap hari.
”Saya mau marah, tapi sama siapa,’’ keluh Kaleb kepada PIP di kantornya Desember lalu.
Pasalnya, aku Kaleb, hingga kini belum ada anggota masyarakat yang mengeluh terhadap praktik USP tersebut. Sehingga tidak ada alasan baginya memanggil apalagi menindak USP yang mulai meresahkan masyarakat Papua itu. Boleh jadi yang ada dibenak Kaleb, mestinya pihak kepolisian lah yang menindak USP itu jika melanggar peraturan pemerintah.
Yang jadi pertanyaan, milik siapakah USP itu? Mengapa bisa leluasa beroperasi dengan bunga yang super tinggi itu? Hasil investigasi PIP di Kantor Dinas Koperasi dan UKM Papua, terungkap bahwa awalnya USP tersebut beroperasi dengan nama Unit Simpan Pinjam Puskoppabri (Pusat Koperasi Purnawirawan dan Warakawuri TNI-Polri) Papua.
USP itu sendiri dimiliki Sarmiyanto yang menjalin kerja sama dengan Puskoppabri Papua sejak 2007. Menurut Kaleb, perjanjian kerja sama dengan Sarmiyanto itu sifatnya lisan saja, atau atas dasar saling percaya. Artinya, Puskoppabri tidak tahu menahu jika dalam operasionalnya mematok bunga tinggi. Selain USP tersebut bebas beroperasi di bawah payung Puskoppabri, Sarmiyanto bertindak sebagai pengurus dan sekaligus manajer.
Bagi masyarakat yang butuh dana cepat, USP Puskoppabri memang sangat membantu. Sebab, pinjaman bisa diberikan langsung tanpa harus menjadi anggota maupun menyimpan lebih dulu. Tetapi, sehari setelah pinjaman diberikan, debt collector akan datang menagih bunga cicilan.
”Dengan bunga 20% perbulan yang ditagih setiap, bisa dibayangkan betapa besarnya keuntungan yang diperoleh USP itu. Setahun 240%, padahal bunga perbankan dalam setahun hanya 16-18%,’’ sergah Kaleb.
Dalam menjaring nasabah, lanjut Kaleb, masyarakat diiming-imingi akan dijadikan anggota koperasi. Tentu saja, janji itu tak pernah terujud karena USP ini memang tidak berbadan hukum koperasi. Bahkan, simpanan pokok dan simpanan wajib pun tidak dikenal di USP ini.
Setelah setahun berjalan, keluhan terhadap praktik ’bank gelap’ itu mulai muncul, namun tidak secara terang-terangan. Umumnya mereka yang tercekik bunga tinggi itu lebih suka tutup mulut, tak berani lapor kepada pihak berwajib.
Kaleb mengaku sempat didatangi oleh anggota Majelis Rakyat Papua (MRP), yang meminta agar praktik koperasi berbunga tinggi itu dihapuskan.
Berdasar keluhan MRP, Kaleb mengundang Puskoppabri guna membahas upaya mengerem laju praktik USP yang meresahkan itu.
Keluhan itu ditanggapi Puskoppabri dengan menerbitkan surat pemutusan kerja sama dengan Sarmiyanto terhitung 1 Januari 2008.
Masih Beroperasi
Kendati kerja sama itu sudah berakhir, kegiatan USP di lapangan ternyata masih deras berlangsung. Kaleb mengaku dirinya merasa kecolongan dengan praktik USP gelap itu sebab pihaknya tidak pernah mengeluarkan izin atau mengeluarkan Badan Hukum untuk KSP tersebut.
Masalahnya, peraturan mengenai pendirian USP maupun KSP selama ini cenderung longgar. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Koperasi atau Dinas-dinas Koperasi dan UKM di daerah merasa sudah selesai tanggung jawabnya sebatas pengeluarkan Badan Hukum. Bahwa kemudian di lapangan USP atau KSP berprilaku seperti ’bank gelap’ agaknya tak terlalu penting. Maka tidak heran jika , kasus KSP dan USP dengan citra buruk sering muncul. Tidak hanya di Jayapura yang jauh, bahkan di sejumlah kota di Pulau Jawa banyak KSP/USP yang meresahkan masyarakat.